MATERI 2 KELAS XII. PANGGILAN HIDUP
BAB 1
PANGGILAN HIDUP
B. PERKAWINAN
DALAM TRADISI KATOLIK
1.1. Arti
dan makna Perkawinan
1.1.1. Pandangan Tradisional : Perkawinan sebagai suatu “ikatan” yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, melainkan juga
mengikat kaum kerabat kedua pihak dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan
tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu
memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.
1.1.2. Pandangan Hukum (Yuridis) : Perkawinan sebagai suatu “Perjanjian”. Dengan perkawinan,
seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan
masyarakat agama atau masyarakat Negara, yang menerima dan mengakui perkawinan
itu sebagai sah.
1.1.3. Pandangan
Sosiologis: Perkawinan
merupakan suatu “Persekutuan hidup”
yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antar-anggota. Ia
merupakan suatu lingkungan hidup yang khas bagi suami-isteri untuk mencapai
kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.
1.1.4. Pandangan
Antropologis:
Perkawinan sebagai suatu “Persekutuan
cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan
akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai
suami-isteri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.
1.2.
Pergeseran Pemahaman dan
Penghayatan Perkawinan
@ Pergeseran dari hidup
perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat social ke hidup perkawinan
dan hidup keluarga yang lebih bersifat pribadi. Ada pergeseran dari kelurga
besar ke keluarga inti.
@ Pergeseran dari nilai
hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat mistis religius, penuh
dengan simbol dan upacara yang berkesinambungan ke hidup perkawinan dan hidup
keluarga yang lebih sekuler, ekonomis, dan efektif. Tidak berlarut-larut,
menekankan nilai kreativitas dan efektivitas.
@ Dalam perkawinan
tradisional, seluruh keluarga mengalami ruang lingkup yang sama. Sama-sama
tinggal di rumah atau sama-sama pergi ke ladang, dan sebagainya. Dalam keluarga
modern, suami yang pergi ke kantor misalnya, mengalami suasana yang berbeda di
tempat kerjanya. Ia bergaul dengan orang-orang lain, pria dan wanita. Dia
mengikuti ritme orang lain. Kalau pulang ke rumah dia harus sesuaikan dirinya
lagi dengan keluarganya.
2.
PERKAWINAN SEBAGAI SAKRAMEN
2.1.
Perkawinan sebagai Sakramen
Sakramen artinya “tanda’.
Yang ditandakan dalam perkawinan adalah:
a.
Tanda Cinta Allah
Dalam
sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang
isteri dan isteri menjadi tandqa cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Bahkan
mereka dipilih menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui suami-isteri, Tuhan
hadir, menolonh, menguatkan, dan membahagiakan pasangannya. Ia ikut mengerjakan
apa yang telah mereka ikrarkan satu sama lain di hadapan-Nya. Sejak hari itulah
mereka bertolak bersama-sama ke jalan menuju kepada-Nya.
Tuhan
memilih suami dan isteri Kristen supaya mereka menjadi tanda dan sarana kasih
setia-Nya bagi satu sama lain selama mereka hidup bersama. Maka dari itu,
sakramen ini diberikan oleh suami kepada isterinya dan oleh isteri kepada
suaminya. Apa yang mereka ikrarkan di hadapan Tuhan dan umat beriman, itulah
yang mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka: saling menyempurakan atau
saling menguduskan sebagai anak Allah.
b.
Tanda cinta Kristus kepada
Gereja-Nya
Persatuan
cinta suami-isteri Kristen menunjuk kepada suatu persatuan cinta yang lain
lagi. Perkawinan Kristen menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia
yaitu persatuan hidup Kristus dengan umat-Nya. Adanya suami di samping
isterinya dan isteri di samping suaminya dalam ikatan cinta adalah tanda nyata
bahwa Kristus selalu menyertai kita, dan kita sebagai suami-isteri selalu
semakin dipersatukan dalam Dia (bdk. Ef 5:25.32).
2.2. Tujuan Perkawinan
2.2.1. Hakekat, Tujuan, dan dasar
Perkawinan Sipil (UU RI No. 1 / 1974)
Hakekat
dan tujuan perkawinan diuraikan dalam UU RI No. 1 / 1974 pasal 1, dikatakan
bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang mahaesa”.
- Hakekat : Ikatan Lahir
Batin
“Sebagai Negara yang berdasarkan
Pacasila, di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama / kerohanian sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, melainkan unsure batin /
rohani juga mempunyai peranan yang penting” (Pasal 1).
- Tujuan : Membentuk
Keluarga bahagia dan kekal
“Suami dan isteri perlu
saling membantu melengkapi, agar masing-masing dapat mengemabangkan
kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material”
(Penjelasan Umum No. 4a).
C. Dasar : Ketuhanan yang Mahaesa
UU
mengakui bahwa Tuhan adalah dasar perkawinan
2.2.2.
Pandangan Gereja
Tradisi
Gereja Katolik pada umumnya mengakui tiga tujuan penting dari perkawinan
seperti tampak dalam Kitab Suci yakni: keturunan, persatuan erat suami-isteri
dan pemenuhan kebutuhan seksual secara benar. Kitab Hukum Gereja yang
diterbitkan pada tahun 1917 menunjukkan tingkatan tujuan perkawinan sebagai
berikut: tujuan primernya adalah kelahiran dan pendidikan anak-anak; tujuan
sekundernya adalah kerjasama suami-isteri dan pemenuhan kebutuhan seksual.
Namun
Kitab Hukum Gereja yang dipromulgasikan pada tahun 1983 memberi penjelasan
secara lain. Kitab Hukum Gereja yang baru itu menghindari pemakaian istilah
tujuan primer dan tujuan sekunder. Pada kanon 1055 ditegaskan bahwa: “Dengan perjanjian perkawinan, pria dan
wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodranya
terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan
anak”. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan seksual tidak lagi disebut
sebagai tujuan perkawinan. Maka hubungan seksual harus lebih dimengerti sebagai
salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan suami-isteri dan untuk
prokreasi.
ð Kelahiran anak : Procreatio
ð Pendidikan anak : Educatio prolis
ð cinta suami-isteri : Amor coniugalis
ð Saling menyempurnakan : Mutua
Perfectionem
Ama
et fac quod vis : cintailah, lalu perbuatlah sesuak hatimu (St. Agustinus)
Konsili
Vatikan II mengatakan bahwa anak (keturunan) merupakan mahkota cinta bapak
ibunya, kebahagiaan merupakan hadiah cuma-cuma yang dengan sendirinya
diperoleh karena mencintai teman hidup. Hubungan seksual dilihat sebagai
dorongan yang kuat untuk mengabdi
kepada kepentingan pasangan daripada kepentingan sendiri yang sempit. Hubungan
seksual lebih merupakan bahasa cinta dan bukan sekedar nafsu mengejar kepuasan
sendiri.
2.3.
Sifat-Sifat Perkawinan
2.3.1.
Sifat-sifat perkawinan menurut Hukum Sipil
a. Monogam
ð Dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan sebaliknya (UU No. 1 /
1974, I pasal 3)
ð UU ini juga memberikan
kemungkinan lain, jika karena alasan tertentu gambaran perkawinan ideal yaitu
tak dapat diwujudkan, maka pengadilan dapat memberikan izin seorang suami untuk
beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Namun kemungkinan itu hanya mungkin “apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan karena hokum dan agama dari yang bersangkutan, seorang suami
dapat beristeri lebih dari seorang” (Penjelasan Umum No. 4C). Itu berarti jika
hukum dan agama dari yang
bersangkutan tidak mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari
seseorang, maka kemungkinan itu tertutup.
b. Kekal / Abadi
ð UU tidak hanya
mencita-citakan sebuah perkawinan yang monogam, tetapi juga perkawinan yang
bahagia dan kekal (I pasal 1).
ð Perkawinan itu dapat
diputuskan karena : kematian, perceraian, keputusan pengadilan (VIII pasal 38).
2.3.2.
Pandangan Gereja
Kitab
Hukum Kanonik 1983, dalam
Sifat
Monogam (Unitas) ini bertentangan dengan poligami dalam dua cara yaitu sebagai
poligami yang berarti suami mempunyai beberapa isteri dan sebagai poliandri
yang berarti isteri mempunyai beberapa suami (Kan. 1148 # 1).
2.4.
Halangan-halangan Perkawinan
2.4.1. Belum
mencapai Umur Kanonik (
ð Batas minimum untuk laki-laki yaitu 16 tahun dan
perempuan 14 tahun
ð Konferensi Wali Gereja
dapat menentukan umur yang lebih tinggi sesuai dengan situasi dan kebiasaan
setempat serta hukum
sipil yang berlaku
2.4.2.
Impotensi (
ð Ketidakmampuan untuk
melakukan persetubuhan atau hubungan seksual yang normal
ð Impotensi dapat bersifat
absolut artinya tak mampu untuk bersetubuh dengan siapa pun; atau relatif artinya ketakmampuan untuk
melakukan hubungan seksual hanya dengan orang tertentu saja
ð Perkawinan tidak sah kalau
impotensi itu sudah ada sejak sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Sedangkan
impotensi yang baru terjadi setelah perkawinan karena sesuatu alasan, misalnya
kecelakaan atau terkena penyakit, tidak membatalkan perkawinan.
2.4.3.
Ligamen / Ikatan perkawinan Terdahulu (
ð Orang yang masih terikat
oleh tali perkawinan sah sebelumnya tidak dapat secara sah pula memasuki
perkawinan lain dengan pihak ketiga sebelum perkawinan terdahulu dinyatakan
tidak sah atau telah diputus menurut hukum
yang berlaku
ð Perkawinan baru dengan
pihak ketiga dapat dilakukan bila pasangan sudah meninggal dunia dengan
kesaksian dan bukti yang resmi.
2.4.4. Tahbisan
Suci (
ð Orang yang terikat
tahbisan suci, tetapi telah mencoba untuk kawin maka perkawinannya tidak sah
ð Orang yang telah menerima
tahbisan suci memakai haknya untuk kawin apabila telah memohon dan mendapat
dispensasi dari tahta suci
2.4.5. Kaul
Kebiaraan / Kaul Religius
ð Orang yang terikat Kaul
Suci dalam Tarekat Religius, tetapi mencoba untuk kawin maka perkawinannya
tidak sah
ð Orang yang telah
mengikrarkan kaul Suci, baik yang dilakukan secara meriah atau sederhana dapat
memakai haknya untuk kawin apabila telah memohon dan mendapat dispensasi dari
Tahta Suci
2.4.9. Beda
Agama (
ð Perkawinan antara seorang
Katolik dengan seorang yang bukan Katolik
ð Perbedaan agama dilihat
sebagai halangan yang menggagalkan perkawinan karena kesulitan-kesulitan yang
biasanya dialami pihak katolik dalam mempraktekkan imannya serta membaptis dan
mendidik anak-anak yang lahir dari perkawinan itu
ð Halangan ini dapat dispensasi
apabila syarat-syarat yang tercantum dalam Kanon 1125 dan 1126 di bawah ini
telah dipenuhi:
1.
Dari
pihak yang katolik dituntut tiga hal yaitu : a). Harus menyatakan bersedia
menjauhkan bahaya meninggalkan iman katolik. b). Harus berjanji dengan jujur
vahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya
dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik. c) Harus memperoleh penjelasan
mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh
dikecualikan atau ditolak
2.
Dari
pihak yang bukan Katolik dituntut dua hal yaitu: a). Harus sungguh sadar
menghargai akan isi janji-janji dan kewajiban-kewajiban pihak katolik. b) Harus
memperoleh penjelasan mengani tujuan-tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan
yang tidak boleh dikecualikan atau ditolak.
2.4.10.
Hubungan Darah (
ð Hubungan atau pertalian
kekeluargaan antara keturunan berdasarkan kelahiran daging dari tunggal / pokok
yang sama
ð Garis Lurus : Keturunan
langsung seperti bapak-anak-cucu
ð Garis Menyamping : Hubungan
antara orang-orang dengan satu pokok bersama. Kedua; saudara-saudari kandung.
Tiga: Paman /
ð Dispensasi dapat diberikan
oleh Ordinaris wilayah
2.4.11.
Hubungan Semenda (
ð Pertalian kekeluargaan
karena perkawinan
ð Misalnya: mertua laki-laki
dengan menantu perempuan, atau sebaliknya, ayah tiri dengan anak tiri, ibu tiri
dengan anak tiri.
ð Dispensasi dapat diberikan
oleh Ordinaris wilayah
2.4.12.
Hubungan Adopsi (
ð Perkawinan antara mereka
yang mempunyai hubungan hokum yang timbul dari adopsi
ð Misalnya: Orangtua angkat
dengan anak angkat, saudara dengan saudari angkat
ð Dispensasi dapat diberikan
oleh Ordinaris Wilayah
Catatan: Dispensasi adalah
relaksasi (pelonggaran) melawan norma hukum yang berlaku (contra legem).
Yang memberikan Dispensasi:
ð Ordinaris wilayah
ð Pastor paroki, pelayan rohani dan
imam atau diakon yang meneguhkan perkawinan dan dalam bahaya mati
ð Bapak pengakuan untuk memberikan
dispensasi dalam bahaya mati
TUGAS PRIBADI
1. Jelaskan arti perkawinan menurut pandangan hukum !
2. Jelaskan makna perkawinan sebagai sakramen !
3. Sebutkan tujuan perkawinan
4. Jelaskan pengertian perkawinan menurut pandangan
gereja !
5. Sebutkan sifat-sifat pekawinan katolik !
Langsung
kerja dan kirim ke no Wax Pa Ambros Hera
Komentar
Posting Komentar