MATERI AJAR KELAS XII TKRO 1.PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK

                                                 

NAMA:AMBROSIUS LAWE HERA, S.Ag

NO WA:082144113472

GURU MATA PELAJARAN:PEND.AGAMA KATOLIK DAN BUDI PEKERTI


BAB 1

PANGGILAN HIDUP

B. PERKAWINAN DALAM TRADISI KATOLIK

1.1.  Arti dan makna Perkawinan

1.1.1.    Pandangan Tradisional : Perkawinan sebagai suatu “ikatan” yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, melainkan juga mengikat kaum kerabat kedua pihak dalam suatu hubungan tertentu. Perkawinan tradisional ini umumnya merupakan suatu proses, mulai dari saat lamaran, lalu memberi mas kawin (belis), kemudian peneguhan, dan seterusnya.

1.1.2.    Pandangan Hukum (Yuridis) : Perkawinan sebagai suatu “Perjanjian”. Dengan perkawinan, seorang pria dan seorang wanita saling berjanji untuk hidup bersama, di depan masyarakat agama atau masyarakat Negara, yang menerima dan mengakui perkawinan itu sebagai sah.

1.1.3.    Pandangan Sosiologis: Perkawinan merupakan suatu “Persekutuan hidup” yang mempunyai bentuk, tujuan, dan hubungan yang khusus antar-anggota. Ia merupakan suatu lingkungan hidup yang khas bagi suami-isteri untuk mencapai kesempurnaan atau kepenuhannya sebagai manusia, sebagai bapak dan sebagai ibu.

1.1.4.    Pandangan Antropologis: Perkawinan sebagai suatu “Persekutuan cinta”. Pada umumnya, hidup perkawinan dimulai dengan cinta. Ia ada dan akan berkembang atas dasar cinta. Seluruh kehidupan bersama sebagai suami-isteri didasarkan dan diresapi seluruhnya oleh cinta.

 

 

 

1.2.  Pergeseran Pemahaman dan Penghayatan Perkawinan

@ Pergeseran dari hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat social ke hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat pribadi. Ada pergeseran dari kelurga besar ke keluarga inti.

@ Pergeseran dari nilai hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih bersifat mistis religius, penuh dengan simbol dan upacara yang berkesinambungan ke hidup perkawinan dan hidup keluarga yang lebih sekuler, ekonomis, dan efektif. Tidak berlarut-larut, menekankan nilai kreativitas dan efektivitas.

@ Dalam perkawinan tradisional, seluruh keluarga mengalami ruang lingkup yang sama. Sama-sama tinggal di rumah atau sama-sama pergi ke ladang, dan sebagainya. Dalam keluarga modern, suami yang pergi ke kantor misalnya, mengalami suasana yang berbeda di tempat kerjanya. Ia bergaul dengan orang-orang lain, pria dan wanita. Dia mengikuti ritme orang lain. Kalau pulang ke rumah dia harus sesuaikan dirinya lagi dengan keluarganya.

2.      PERKAWINAN SEBAGAI SAKRAMEN

2.1.  Perkawinan sebagai Sakramen

Sakramen artinya “tanda’. Yang ditandakan dalam perkawinan adalah:

a.    Tanda Cinta Allah

Dalam sakramen perkawinan, suami adalah tanda kehadiran Allah untuk mencintai sang isteri dan isteri menjadi tandqa cinta dan kebaikan Allah bagi sang suami. Bahkan mereka dipilih menjadi utusan atau tangan Tuhan. Melalui suami-isteri, Tuhan hadir, menolonh, menguatkan, dan membahagiakan pasangannya. Ia ikut mengerjakan apa yang telah mereka ikrarkan satu sama lain di hadapan-Nya. Sejak hari itulah mereka bertolak bersama-sama ke jalan menuju kepada-Nya.

          Tuhan memilih suami dan isteri Kristen supaya mereka menjadi tanda dan sarana kasih setia-Nya bagi satu sama lain selama mereka hidup bersama. Maka dari itu, sakramen ini diberikan oleh suami kepada isterinya dan oleh isteri kepada suaminya. Apa yang mereka ikrarkan di hadapan Tuhan dan umat beriman, itulah yang mereka teruskan selama hidup perkawinan mereka: saling menyempurakan atau saling menguduskan sebagai anak Allah.

 

b.    Tanda cinta Kristus kepada Gereja-Nya

Persatuan cinta suami-isteri Kristen menunjuk kepada suatu persatuan cinta yang lain lagi. Perkawinan Kristen menjadi gambaran dari hubungan cinta yang lebih mulia yaitu persatuan hidup Kristus dengan umat-Nya. Adanya suami di samping isterinya dan isteri di samping suaminya dalam ikatan cinta adalah tanda nyata bahwa Kristus selalu menyertai kita, dan kita sebagai suami-isteri selalu semakin dipersatukan dalam Dia (bdk. Ef 5:25.32).

2.2. Tujuan Perkawinan

2.2.1. Hakekat, Tujuan, dan dasar Perkawinan Sipil (UU RI No. 1 / 1974)

          Hakekat dan tujuan perkawinan diuraikan dalam UU RI No. 1 / 1974 pasal 1, dikatakan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang mahaesa”.

  1. Hakekat : Ikatan Lahir Batin

“Sebagai Negara yang berdasarkan Pacasila, di mana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama / kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir / jasmani, melainkan unsure batin / rohani juga mempunyai peranan yang penting” (Pasal 1).

  1. Tujuan : Membentuk Keluarga bahagia dan kekal

“Suami dan isteri perlu saling membantu melengkapi, agar masing-masing dapat mengemabangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material” (Penjelasan Umum No. 4a).

     C. Dasar : Ketuhanan yang Mahaesa

          UU mengakui bahwa Tuhan adalah dasar perkawinan

2.2.2. Pandangan Gereja

          Tradisi Gereja Katolik pada umumnya mengakui tiga tujuan penting dari perkawinan seperti tampak dalam Kitab Suci yakni: keturunan, persatuan erat suami-isteri dan pemenuhan kebutuhan seksual secara benar. Kitab Hukum Gereja yang diterbitkan pada tahun 1917 menunjukkan tingkatan tujuan perkawinan sebagai berikut: tujuan primernya adalah kelahiran dan pendidikan anak-anak; tujuan sekundernya adalah kerjasama suami-isteri dan pemenuhan kebutuhan seksual.

          Namun Kitab Hukum Gereja yang dipromulgasikan pada tahun 1983 memberi penjelasan secara lain. Kitab Hukum Gereja yang baru itu menghindari pemakaian istilah tujuan primer dan tujuan sekunder. Pada kanon 1055 ditegaskan bahwa: “Dengan perjanjian perkawinan, pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dari sifat kodranya terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta pada kelahiran dan pendidikan anak”. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan seksual tidak lagi disebut sebagai tujuan perkawinan. Maka hubungan seksual harus lebih dimengerti sebagai salah satu sarana untuk mencapai kesejahteraan suami-isteri dan untuk prokreasi.

          ð Kelahiran anak : Procreatio

          ð Pendidikan anak : Educatio prolis

          ð cinta suami-isteri : Amor coniugalis

          ð Saling menyempurnakan : Mutua Perfectionem

Ama et fac quod vis : cintailah, lalu perbuatlah sesuak hatimu (St. Agustinus)

          Konsili Vatikan II mengatakan bahwa anak (keturunan) merupakan mahkota cinta bapak ibunya, kebahagiaan merupakan hadiah cuma-cuma yang dengan sendirinya diperoleh karena mencintai teman hidup. Hubungan seksual dilihat sebagai dorongan yang kuat untuk mengabdi kepada kepentingan pasangan daripada kepentingan sendiri yang sempit. Hubungan seksual lebih merupakan bahasa cinta dan bukan sekedar nafsu mengejar kepuasan sendiri.

2.3. Sifat-Sifat Perkawinan

2.3.1. Sifat-sifat perkawinan menurut Hukum Sipil

a. Monogam

ð Dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan sebaliknya (UU No. 1 / 1974, I pasal 3)

ð UU ini juga memberikan kemungkinan lain, jika karena alasan tertentu gambaran perkawinan ideal yaitu tak dapat diwujudkan, maka pengadilan dapat memberikan izin seorang suami untuk beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Namun kemungkinan itu hanya mungkin “apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan karena hokum dan agama dari yang bersangkutan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang” (Penjelasan Umum No. 4C). Itu berarti jika hukum dan agama dari yang bersangkutan tidak mengizinkan seorang suami dapat beristeri lebih dari seseorang, maka kemungkinan itu tertutup.

b. Kekal / Abadi

ð UU tidak hanya mencita-citakan sebuah perkawinan yang monogam, tetapi juga perkawinan yang bahagia dan kekal (I pasal 1).

ð Perkawinan itu dapat diputuskan karena : kematian, perceraian, keputusan pengadilan (VIII pasal 38).

2.3.2. Pandangan Gereja

          Kitab Hukum Kanonik 1983, dalam Kan. 1056 mengatakan: “Sifai-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen”. Ajaran resmi Gereja menegaskan bahwa perkawinan bersifat monogam dan tak terceraikan atas dasar tuntutan hokum ilahi positip (wahyu dan Kitab Suci). Perkawinan yang sah dan halal serta telah disempurnakan dengan persetubuhan (ratum et consummatum), termasuk kasus ikatan perkawinan yang kodrati yaitu perkawinan dua orang yang tidak dibaptis, tidak mungkin diceraikan, baik melalui suatu hukum perceraian (pengadilan gerejawi) maupun melalui campur tangan siapa pun.

          Sifat Monogam (Unitas) ini bertentangan dengan poligami dalam dua cara yaitu sebagai poligami yang berarti suami mempunyai beberapa isteri dan sebagai poliandri yang berarti isteri mempunyai beberapa suami (Kan. 1148 # 1).

2.4. Halangan-halangan Perkawinan

2.4.1. Belum mencapai Umur Kanonik (Kan. 1083)

ð Batas minimum untuk laki-laki yaitu 16 tahun dan perempuan 14 tahun

ð Konferensi Wali Gereja dapat menentukan umur yang lebih tinggi sesuai dengan situasi dan kebiasaan setempat serta hukum sipil yang berlaku

2.4.2. Impotensi (Kan. 1084)

ð Ketidakmampuan untuk melakukan persetubuhan atau hubungan seksual yang normal

ð Impotensi dapat bersifat absolut artinya tak mampu untuk bersetubuh dengan siapa pun; atau relatif artinya ketakmampuan untuk melakukan hubungan seksual hanya dengan orang tertentu saja

ð Perkawinan tidak sah kalau impotensi itu sudah ada sejak sebelum perkawinan dan bersifat tetap. Sedangkan impotensi yang baru terjadi setelah perkawinan karena sesuatu alasan, misalnya kecelakaan atau terkena penyakit, tidak membatalkan perkawinan.

 

2.4.3. Ligamen / Ikatan perkawinan Terdahulu (Kan. 1085)

ð Orang yang masih terikat oleh tali perkawinan sah sebelumnya tidak dapat secara sah pula memasuki perkawinan lain dengan pihak ketiga sebelum perkawinan terdahulu dinyatakan tidak sah atau telah diputus menurut hukum yang berlaku

ð Perkawinan baru dengan pihak ketiga dapat dilakukan bila pasangan sudah meninggal dunia dengan kesaksian dan bukti yang resmi.

2.4.4. Tahbisan Suci (Kan. 1087)

ð Orang yang terikat tahbisan suci, tetapi telah mencoba untuk kawin maka perkawinannya tidak sah

ð Orang yang telah menerima tahbisan suci memakai haknya untuk kawin apabila telah memohon dan mendapat dispensasi dari tahta suci

2.4.5. Kaul Kebiaraan / Kaul Religius

ð Orang yang terikat Kaul Suci dalam Tarekat Religius, tetapi mencoba untuk kawin maka perkawinannya tidak sah

ð Orang yang telah mengikrarkan kaul Suci, baik yang dilakukan secara meriah atau sederhana dapat memakai haknya untuk kawin apabila telah memohon dan mendapat dispensasi dari Tahta Suci

 

2.4.9. Beda Agama (Kan. 1086)

ð Perkawinan antara seorang Katolik dengan seorang yang bukan Katolik

ð Perbedaan agama dilihat sebagai halangan yang menggagalkan perkawinan karena kesulitan-kesulitan yang biasanya dialami pihak katolik dalam mempraktekkan imannya serta membaptis dan mendidik anak-anak yang lahir dari perkawinan itu

ð Halangan ini dapat dispensasi apabila syarat-syarat yang tercantum dalam Kanon 1125 dan 1126 di bawah ini telah dipenuhi:

1.     Dari pihak yang katolik dituntut tiga hal yaitu : a). Harus menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman katolik. b). Harus berjanji dengan jujur vahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja katolik. c) Harus memperoleh penjelasan mengenai tujuan-tujuan serta sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikecualikan atau ditolak

2.    Dari pihak yang bukan Katolik dituntut dua hal yaitu: a). Harus sungguh sadar menghargai akan isi janji-janji dan kewajiban-kewajiban pihak katolik. b) Harus memperoleh penjelasan mengani tujuan-tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikecualikan atau ditolak.

2.4.10. Hubungan Darah (Kan. 1091)

ð Hubungan atau pertalian kekeluargaan antara keturunan berdasarkan kelahiran daging dari tunggal / pokok yang sama

ð Garis Lurus : Keturunan langsung seperti bapak-anak-cucu

ð Garis Menyamping : Hubungan antara orang-orang dengan satu pokok bersama. Kedua; saudara-saudari kandung. Tiga: Paman / Om dengan kemenakan perempuan. Empat: Saudara-saudari sepupu

ð Dispensasi dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah

2.4.11. Hubungan Semenda (Kan. 1092)

ð Pertalian kekeluargaan karena perkawinan

ð Misalnya: mertua laki-laki dengan menantu perempuan, atau sebaliknya, ayah tiri dengan anak tiri, ibu tiri dengan anak tiri.

ð Dispensasi dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah

2.4.12. Hubungan Adopsi (Kan. 1094)

ð Perkawinan antara mereka yang mempunyai hubungan hokum yang timbul dari adopsi

ð Misalnya: Orangtua angkat dengan anak angkat, saudara dengan saudari angkat

ð Dispensasi dapat diberikan oleh Ordinaris Wilayah

Catatan: Dispensasi adalah relaksasi (pelonggaran) melawan norma hukum yang berlaku (contra legem).

Yang memberikan Dispensasi:

          ð Ordinaris wilayah

          ð Pastor paroki, pelayan rohani dan imam atau diakon yang meneguhkan perkawinan dan dalam bahaya mati

          ð Bapak pengakuan untuk memberikan dispensasi dalam bahaya mati

 

TUGAS PRIBADI

1.      Jelaskan arti perkawinan menurut  pandangan hukum !

2.      Jelaskan makna perkawinan sebagai sakramen !

3.      Sebutkan tujuan perkawinan

4.      Jelaskan pengertian perkawinan menurut pandangan gereja !

5.      Sebutkan sifat-sifat pekawinan katolik !

 

Langsung kerja dan kirim ke no Wax Pa Ambros Hera

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MATERI 1 KELAS XI. SIFAT-SIFAT GEREJA

MATERI 1 KELAS XII. PANGGILAN HIDUP BERKELUARGA

MATERI 3 KELAS XI. GEREJA SEBAGAI UMAT ALLAH